Selasa, 06 Oktober 2015

Sediaan Transdermal

PLESTER
Banyak sediaan –utamanya pada kosmetik dan sediaan dermatologi— yang ditujukan untuk pemakaian melalui kulit karena berbagai alasan. Sediaan tersebut misalnya lotio, salep, kirim, suspense, emulsi, dll. Meskipun pada umumnya dimaksudkan untuk pengobatan penyakit kulit dan kalaupun ditujukan agar obat menembus permukaan kulit dihindari permeasi kie sirkulasi sistemik—tentu ada beberapa pengecualian— akan tetapi jika obat telah berhasil menembus epidermis, akan tetap ada kemungkinan obat tersebut menembus sirkulasi sistemik. Adanya obat yang sampai ke sirkulasi sistemik dapat dibuktikan dengan pemeriksaan kadar obat dalam darah atau dalam urin. Tetapi untungnya, biasanya kadar obat yang “tidak sengaja” menembus sirkulasi sistemik berjumlah kecil sehingga efeknya tidak dirasakan oleh pasien.
Transdermal patch atau plester transdermal atau plester kulit adalah plester adesif yang mengandung obat yang ditempatkan pada kulit untuk menghantarkan dosis pelepasan obat berdasarkan waktu melalui kulit dank e dalam aliran darah. Plester transdermal digunakan untuk menghantarkan sediaan farmasi dengan variasi luas. Pertama kali tersedia secara komersil dan disetujui oleh FDA (Food and Drug Administration) Amerika Serikat pada Desember 1979, yaitu scopolamine untuk mabuk kendaraan. Plester kulit yang paling dikenal saat ini adalah plester nikotin yang melepaskan nikotin untuk membantu menghentikan kebiasaan merokok. Plester kulit lain yang didaftarkan adalah estrogen untuk menopause dan mencegah osteoporosis pasca menopause, nitrogliserin untuk angina, dan lidokain untuk menghilangkan rasa sakit akibat ruam saraf (herpes zoster). Perkembangan terbaru memperluas penggunaannya untuk menghantarkan hormone, antidepresan dan bahkan pembunuh rasa sakit. Beberapa sediaan farmasi harus dikombinasikan dengan senyawa lain seperti alcohol untuk meningkatkan kemampuannya dalam berpenetrasi ke dalam kulit agar dapat digunakan dalam bentuk plester transdermal. Molekul insulin dan banyak sediaan farmasi lain yang terlalu besar untuk dihantarkan melalui kulit.


Kulit dan Absorbsi Perkutan
Proses masuknya suatu zat dari luar kulit melintasi lapisan – lapisan kulit menuju posisi di bawah kulit hingga menembus pembuluh darah disebut absorbsi perkutan. Absorbsi transdermal terjadi melalui proses difusi yang lambat yang ditentukan oleh gradient konsentrasi obat dari konsentrasi tinggi (pada sediaan yang diaplikasikan) menuju konsntrasi rendah di kulit. Obat dapat mempenetrasi kulit utuh melalui dinding folikel rambut, kelenjar minyak, atau kelenjar lemak. Dapat pula melalui celah antar sel dari epidermis dan inilah cara yang paling dominan untuk penetrasi obat melalui kulit dibandingkan penetrasi melalui folikel rambut, kelenjar minyak, maaupn kelenjar lemak. Hal ini terkait perbandingan luas permukaan di antara keempatnya.
Sebenarnya, kulit yang rusak pun (robek, iritasi, pecah –pecah, dll) dapat terpenetrasi oleh obat. Bahkan penetrasinya lebih banyak dari pada kulit normal. Hal ini karena kulit rusak telah kehilangan sebagian lapisan pelindungnya. Meski demikian, penetrasi melalui kulit yang rusak tidak dianjurkan karena absorbs obat menjadi sulit untuk diprediksi.
Di antara faktor – faktor yang mempengaruhi absorbs perkutan antara lain:
1. Sifat fisiko – kimia obat
2. Sifat pembawa
3. Kondisi kulit
4. Uap air
Penghantaran Obat secara Transdermal
Sistem penghantaran obat secara transdermal merupakan salah satu inovasi dalam sistem penghantaran obat modern untu mengatasi problema bioavailabilitas obat tersebut jika diberikan melalui jalur lain seperti oral. Obat yang diberikan secara transdermal masuk ke tubuh melalui permukaan kulit yang kontak langsung dengannya baik secara transeluler maupun secara inter seluler. Inovasi penghantaran obat ini memiliki keunggulan dibandingkan jalur panghantaran obat yang lain, di antaranya:
• Meminimalisaasi ketidakteraraturan absorbsi dibandingkan dengan jalur oral yang dipengaruhi oleh pH, makanan, kecepatan pengosongan lambung, waktu transit usus, dll
• Obat terhindar dari first passed effect,
• Terhindar dari degradasi oleh saluran gastro intestinal;
• Jika terjadi efek samping yang tidak diinginkan (missal reaksi alergi, dll) pemakaian dapat dengan mudah dihentikan
• Absorbsi obat relatif konstan dan kontinyu
• Input obat ke sirkulasi sistemik terkontrol serta dapat menghindari lonjakan obat sistemik
• Relatif mudah digunakan dan dapat didesain sebagai sediaan lepas terkontrol yang digunakan dalam waktu relatif lama (misalnya dalam bentuk transdermal patch atau semacam plester)sehingga dapat meningkatkan patient compliance.
Namun sayangnya, tidak semua obat dapat diberikan scara transdermal dengan baik. Idealnya, obat – obat yang akan diberikan secara transdermal memiliki sifat – sifat:
• Memliki bobot molekul relatif kecil (kurang dari 500 Da). Hal ini karena pada dasarnya stratum corneum pada kulit merupakan barrier yang cukup efektif untuk menghalangi molekul asing masuk ke tubuh sehingga hanya molekul – molekul yang berukuran sangat kecil sajalah yang dapat menembusnya
• Memiliki koefisien partisi sedang (larut baik dalam lipid maupun air)
• Memiliki titik lebur yang relatif rendah. Hal ini karena untuk dapat berpenetrasi ke dalam kulit, obat harus dalam bentuk cair, serta
• Memiliki effective dose yang relatif rendah.
Mengingat syarat keidealan tersebut, maka sistem penghantaran transdermal ini memiliki keterbatasan:
• Range obat terbatas (terutama terkait ukuran molekulnya);
• Dosisnya harus kecil;
• Kemungkinan terjadinya iritasi dan sensitivitas kulit;
• Tidak semua bagian tubuh dapat menjadi tempat aplikasi obat – obat transdermal. Misalnya telapak kaki, dll;
• Harus diwaspadai pre-systemic metabolism mengingat kulit juga memiliki banyak enzim pemetabolisme.
Sediaan Transdermal
Sediaan transdermal yang biasa dijumpai di pasaran saat ini adalah transdermal therapeutic system (TTS) yang biasa disebut sebagai plester. Secara sederhana, plester terdiri atas komponen – komponen berikut (dimulai dari lapisan paling luar):
1. Impermeable backing atau lapisan penyangga, biasanya terbuat dari lapisan polyester, ethylene vinyl alcohol (EVA), atau lapisan polyurethane. Lapisan ini berguna untuk melindungi obat dari air dan sebagainya yang dapat merusak obat. Lapisan ini harus lebih luas dari pada lapisan di bawahnya untuk
2. Drug Reservoir atau lapisan yang mengandung obat (zat aktif) beserta dengan perlengkapannya seperti material pengatur kecepatan pelepasan obat, dsb. Obat terdispersi dengan baik dalam eksipien cair yang inert dalam lapisan ini.
3. Lapisan perekat atau semacam lem untuk menempelkan impermeable back beserta drug reservoir pada kulit.; serta
4. Lapisan pelindung yang akan dibuang ketika plester digunakan. Lapisan ini berguna untuk mencegah melekatnya lapisan perekat pada kemasan sebelum digunakan.
Terkadang, ada pula lapisan tambahan yaitu rate-controlling membrane yang terbuat dari polypropylene berpori mikro dan yang berfungsi sebagai membrane pengatur jumlah dan kecepatan pelepasan obat dari sediaan menuju permukaan kulit.
Dewasa ini, terdapat dua tipe plester yaitu plester dengan sistem reservoir dan plester dengan sistem matriks (drug in adhesive system). Inti perbedaan di antara keduanya adalah pada sistem reservoir laju pelepasan obat dari sediaan dan laju permeasi kulit ditentukan oleh kemampuan kulit mengabsorbsi obat sedangkan pada sistem matriks laju pelepasan obat dari sediaan diatur oleh matriks.
Contoh obat yang diberikan secara transdermal adalah nitrogliserin (digunakan untuk pengobatan angina). Pada umumnya patch nitrogliserin transdermal ditempelkan di dada atau punggung. Yang harus diperhatikan adalah patch ini harus ditempatkan pada kulit yang bersih, kering, dan sedikit ditumbuhi rambut agar patch dapat menempel dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar